Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengancam akan mencabut status bebas pajak Universitas Harvard setelah kampus itu menolak tuntutan pemerintahannya terkait penanganan aktivitas demonstrasi pro-Palestina. Ancaman itu muncul beberapa jam setelah pemerintahan Trump membekukan lebih dari US$2 miliar dana federal untuk Harvard.
Dilansir dari BBC, Rabu (16/4/2025), Gedung Putih telah menuntut universitas tertua di AS itu membuat perubahan pada praktik perekrutan, penerimaan, dan pengajaran kepada universitas. Hal tersebut buntut dari anggapan Trump terkait adanya dugaan anti-semitisme atau anti-Yahudi di kampus.
“Mungkin Harvard harus kehilangan Status Pembebasan Pajaknya dan dikenakan pajak sebagai Entitas Politik jika terus mendorong politik, ideologis, dan teroris yang terinspirasi/mendukung penyakit?” tulis Trump dalam platform Truth Social pada Selasa pagi (15/4/2025).
“Ingat, status pembebasan pajak sepenuhnya bergantung pada tindakan dalam KEPENTINGAN PUBLIK!” tambah Trump.
Selanjutnya, Sekretaris Pers di Gedung Putih, Karoline Leavitt, menyampaikan bahwa Trump berharap universitas akan minta maaf atas tindakan yang sudah dia lakukan.
“-Trump menginginkan Harvard minta maaf, dan Harvard harus melakukan hal itu,” ujar Leavitt.
Sebelumnya, Harvard menolak berbagai tuntutan dari pemerintahan Trump secara tegas dan menuduh Gedung Putih mencoba mengendalikan universitas, Senin (14/4/2025) lalu.
Presiden Universitas Harvard, Alan Garber, mengatakan bahwa universitas tidak akan menyerahkan kemerdekaannya atau melepaskan hak konstitusionalnya di bawah Amandemen Pertama yang melindungi kebebasan berbicara.
“Meskipun beberapa tuntutan yang diuraikan oleh pemerintah ditujukan untuk memerangi antisemitisme, mayoritas mewakili peraturan pemerintah langsung tentang kondisi intelektual di Harvard,” katanya.
Sejalan dengan itu, seorang profesor sejarah di Harvard, David Armitage, mengatakan, sekolah tersebut mampu menolak sebagai universitas terkaya di AS dan tidak ada harga yang terlalu tinggi untuk membayar kebebasan.
“Ini adalah tindakan yang tidak terduga dari aktivitas yang sama sekali tidak berdasar dan penuh dendam oleh pemerintahan Trump yang tidak menginginkan apa pun selain membungkam kebebasan berbicara,” katanya.