Proses pencarian jati diri
pendidikan Indonesia
Sepertinya tidak akan pernah berakhir. Baru sekitar setahun sejak pelaksanaan serentak pembatalan sistem jurusan Sains, Sosial, dan Bahasa di tingkat SMA, kini pemerintah ingin menghidupkannya kembali.
Ide untuk menerapkan kembali sistem pemisahan jurusan ini mencuat selama acara Halal Bihalal yang digelar oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) di area Senayan, Jakarta Pusat, pada hari Jumat, 11 April 2025.
Saat itu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, mengusulkan agar sistem penjurusan di SMA seperti IPA, IPS, dan Bahasa dapat diperkenalkan kembali dimulai dari tahun ajaran baru 2025/2026. Tujuannya adalah untuk menunjang implementasi Tes Kemampuan Akademik (TKA), yaitu ujian gantian Uji Nasional yang nantinya akan fokus pada beberapa bidang studi spesifik.
Sekretaris Jenderal dari PP Muhammadiyah mengatakan bahwa model program studi ini konsisten dengan implementasi Tes Kemampuan Akademik (TKA), yang menggantikan Ujian Nasional dan akan menjadi dasar bagi kelanjutan pendidikan di perguruan tinggi. Oleh karena itu, ia berkeinginan agar nantinya tidak terjadi lagi pilihan antara prodi yang bersifat silang atau lintas bidang.
“Waktu berdialog dengan forum rektor, mereka menyatakan bahwa terdapat seorang mahasiswa yang semula mendaftar di IPS namun akhirnya lolos ke Fakultas Kedokteran. Ini bisa menjadi tantangan besar lho. Meskipun ia berhasil diterima, saat harus mengikuti remedial karena nilai kurang memadai, ini akan membawa kesulitan sendiri,” katanya.
Sebenarnya, peristiwa penghapusan jurusan di SMA baru-baru ini masih teringat dengan jelas. Hal tersebut menjadi bagian dari implementasi Kurikulum Merdeka yang bertujuan memungkinkan siswa bereksplorasi lebih luas mengenai kepentingan pribadi mereka, potensi diri, dan harapan masa depan profesional.
Pada tahun 2024, Kepala Badan Standar Nasional Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) dari Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, menyampaikan bahwa dengan mencabut jurusan-jurusan di sekolah menengah atas (SMA), akan ada peniadaan diskriminasi terhadap siswa yang bukan berasal dari jurusan IPA saat proses penerimaan mahasiswa baru secara nasional.
“Melalui kurikulum Merdeka, setiap siswa yang lulus dari SMA atau SMK berhak mengajukan diri untuk masuk ke seluruh program studi lewat proses ujian, tidak terbatas oleh bidang studinya saat di SMA/SMK,” jelas Anindito beberapa waktu silam tahun 2024.
Pernyataan sebelumnya bertentangan dengan tujuan terkini yang fokus pada pemberian batasan dalam hal pemilihan jalur studi. Kebijakan yang dirancang untuk mendukung eksplorasi ambisi karir mahasiswa selama kurun waktu satu tahun telah berganti, dan kembali kepada model sistem penjurusan lama yang mencegah serta membimbing minat siswa sejak dini sebelum mereka melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.
Keadaan ini serupa dengan pengulangan sejarah pada tiap tahapan waktu. Setiap pergantian Menteri Pendidikan senantiasa disertai oleh pergeseran dalam kebijakan pendidikan. Sekarang, dibawah kepemimpinan Mendikdasmen Mu’ti, perubahan yang akan datang meliputi pembawaan ulang sistem penentuan jurusan serta transformasi Ujian Nasional (UN) menjadi Tes Kemampuan Akademik (TKA).
Walaupun bukan merupakan faktor utama untuk menentukan kelulusan, Tes Kemampuan Akademik (TKA) akan digunakan sebagai salah satu standar evaluasi jalur prestasi saat masuk perguruan tinggi. Untuk periode pembelajaran sekarang, TKA hanya berlaku bagi siswa SMA/SMK/MA saja. Sementara itu, tes tersebut baru akan diterapakan kepada SD dan SMP mulai tahun depan.
TKA juga tidak luput dari kritikan. Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, penggunaan TKA mengindikasikan persoalan besar pada sistem pendidikan kita saat ini, di mana anak-anak kerap kali menjadi subjek ujicobanya dan seringkali diposisikan sebagai korban tes.
“Ironicnya, meski sekolah melakukan berbagai macam ujiannya secara berkelanjutan, hal tersebut tak diakui sepenuhnya baik oleh pihak universitas maupun pemerintah. Akibatnya, mahasiswa baru harus menjalani proses seleksi lagi di kampus mereka masing-masing, serta peserta didik wajib ikut Ujian Tulisan Masuk Universitas atau TKA ini. Hal itu mencerminkan situasi yang kurang sehat dalam sistem pendidikan nasional akibat ketidakpercayaan antar pemegang kebijakan. Fenomena seperti ini dapat terjadi lantaran praktik-praktik penipuan, suap menyuap, hingga pembuatan nilai palsu sudah menjadi bagian lumrah dalam lingkungan pendidikan kita. Upaya reformasi sangat diperlukan mulai tingkat tertinggi hingga dasarnya,” ungkapnya kepada wartawan Tirto melalui platform obrolan pada hari Selasa tanggal 15 April tahun 2025.
Buru-Buru dan Tanpa Kajian
Jurusan, penyesuaian kurikulum, ataupun metode seleksi universitas merupakan masalah rumit yang sesungguhnya memerlukan strategi menyeluruh. Menurut Ubaid, pihak pemerintah harus menghindari “kebiasaan negatif” berganti mentri lalu ubah kebijakan. Tindakan tersebut justru menciptakan kerancuan bagi siswa, para orangtua, guru, serta publik secara umum.
“Soal gonta-ganti kebijakan ini menimbulkan banyak masalah dan membuat pendidikan kita tambah melorot dan tertinggal dengan kualitas pendidikan di negara-negara tetangga kita. Kurikulum di Indonesia sering diubah sebagai legacy politik menteri baru, bukan berdasarkan evaluasi jangka panjang,” ucap Ubaid berpendapat.
Sebagai akibatnya, baik guru maupun murid harus terus menyesuaikan diri dengan perubahan dalam sistem pendidikan ini, yang pada gilirannya memperlambat jalannya pembelajaran.
Wakil guru juga menyuarakan pandangan serupa. Satriawan Salim sebagai Ketua Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mencatat bahwa keputusan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah untuk memulihkan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di sekolah menengah atas tampaknya sangat cepat dan tidak didukung dengan penilaian atau tinjauan mendalam tentang pelaksanaan kurikulum merdeka yang belum lama ini diperkenalkan.
“Sistem jurusan yang baru saja dicabut dalam kurikulum merdeka, masih belum jelas pengaruh serta keberhasilannya, bahkan penilaian IKM menyeluruh juga belum dilakukan. Membawa kembali sistem studi sains/sosial tampak seperti tindakan tanpa pertimbangan mendalam,” ungkap Satriwan melalui pernyataan tertulis yang diterima Tirto pada hari Selasa (15/4/2025).
Pendapat Satriwan dari P2G adalah terdapat sejumlah keuntungan dan kerugian pada pemulihan program jurusan sains, sosial, serta bahasa di tingkat SMA. Kelebihannya, institusi pendidikan telah memiliki kemahiran dalam menangani pemberlakuan jalur-jalur studi tersebut, yang membuat mereka dapat lebih mudah bersesuaian dengan format baru ini.
Sebaliknya, meski ada harapan di bawah Kurikulum Merdeka agar siswa dapat memilih subjek berdasarkan ketertarikan, talenta, dan kapabilitas mereka, hal ini belum benar-benar terealisasi secara menyeluruh. Banyak sekolah menengah atas masih mengadopsi sistem penyajian “daftar pilihan” atau “kumpulan” mata pelajaran. Sistem tersebut mencakup lima opsi yaitu: Menu Minat Mata Pelajaran IPA, Menu Minat Mata Pelajaran IPS, Kombinasi antara IPA dan IPS, Gabungan antara IPA serta Bahasa, dan Terakhir kombinasi dari IPS bersama Bahasa.
Dalam penerapan nyatanya dari kurikulum merdeka di sekolah menengah atas, berbagai masalah timbul seperti yang disebutkan dalam daftar lima paket tersebut. Penyebab utamanya adalah ketiadaan staf pengajar yang cukup serta informasi yang salah tentang cara mengelolanya. Namun kini, hal-hal ini menjadi lebih jelas dan mudah dipahami,” ungkap Satriwan.
Oleh karena itu, dengan menempuh program studi Sains, Sosial, atau Bahasa, siswa bisa mengkhususkan diri pada salah satu cabang ilmu tertentu. Sebagai contoh, seorang pelajar yang berada di jurusan Sains akan lebih banyak mempelajari mata kuliah seperti Matematika, Biologi, Kimia, serta Fisika.
Meskipun begitu, menurut Satriwan, implementasi kembali program studi IPA/IPS/Bahasa juga dapat membangkitkan lagi fenomena stratifikasi jenis pelajaran. Ini karena catatan sejarah telah menunjukkan bahwa ketika sistem penjurusan ada dalam kurikulum-c Kurikulum sebelumnya, para siswa yang terdaftar di jurusan IPA sering kali dipandang sebagai mereka yang memiliki kecerdasan lebih tinggi. Akibatnya, jurusan IPA kemudian menjadi pilihan utama bagi banyak siswa.
“Seringkali ada prediksi bahwa siswa IPA lebih cerdas, sedangkan bagi yang mengambil jurusan IPS diasumsikan kurang mampu atau sebagai alternatif terakhir jika tidak lolos ke IPA, termasuk mereka yang memilih jurusan Bahasa. Pandangan ini sudah melekat selama bertahun-tahun,” jelas Satriwan.
Menurut dia, dalam waktu lima tahun, sistem pendidikan yang sering berubah menyesuaikan kemauan para menteri dan perbedaan total dengan pemerintah sebelumnya malah bisa memperlambat usaha untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa menuju visi Indonesia Emas pada 2045. Alasan utamanya adalah bahwa tiap pergantian periode lima tahun, dunia pendidikan kita seperti dimulai dari awal sekali lagi tanpa adanya kelanjutan atau ketekunan.
Sebenarnya, pencabutan pilihan antara IPA, IPS, dan bahasa di tingkat SMA tidak hanya bertujuan untuk mengurangi stigmatisasi negatif serta praktik diskriminatif terhadap jurusan-jurusan tersebut yang sudah mapan dalam sistem pendidikan maupun masyarakat. Menurut Edi Subkhan, seorang pakar pendidikan dari Universitas Negeri Semarang Unnes, keputusan ini juga dipicu oleh niat untuk memberikan kepada siswa kesempatan memilih subjek-subjek yang mereka minati guna mendukung jalur studi lanjutan yang semakin bervariasi.
“Apabila kita berharap agar sistem pendidikan kita berkembang, seperti halnya menyediakan pelayanan optimal bagi anak-anak kita untuk mengeksplorasi bakat dan keingintahuan mereka, maka kita dapat mengambil pelajaran dari negara-negara tetangga kami seperti Australia atau Selandia Baru, bahkan mungkin juga Finlandia. Di sana, pemisahan jurusan tidak begitu kaku; malahan, pembagian hanya menjadi tiga kelompok yaitu IPA, IPS, dan Bahasa tidak diterapkan,” ungkap Edi pada hari Selasa (15 April 2025) saat bercerita kepada Tirto.
Edi menceritakan bahwa di Singapura terdapat konsep bernama streaming yang serupa dengan sistem peminatan, namun memiliki pembagian menjadi dua kategori utama yaitu sains dan seni. Meskipun demikian, murid-murid masih dapat menentukan sendiri kombinasi subjek mereka.
“Dengan adanya fleksibilitas dan berbagai pilihan, kita dapat melihat hasil pendidikan di negara-negara seperti Australia, Selandia Baru, Finlandia, dan Singapura. Namun, sistem konsentrasi malah membatasi pilihan siswa dan kurang sesuai dengan semakin banyaknya varian jurusan atau program studi yang ada di universitas saat ini,” tambah Edi.
Menurut Edi, agar bisa menguasai materi-materi dalam ujian TKA, tidak penting adanya penjurusan. Yang dibutuhkan adalah komitmen dari guru untuk mendampingi muridnya belajar secara bertahap serta memberikan umpan balik. Menurut pandangan Edi, keputusan memulihkan sistem jurusan di sekolah menengah atas tampak kurang fokus pada akar masalah sebenarnya.
“Jika tidak ada penjurusan, bukan berarti pemahaman murid tentang mata pelajaran menjadi kurang baik, kan? Pemahaman ini lebih bergantung pada rutinitas pembelajaran harian yang menjamin bahwa siswa telah menguasai konsep-konsep mendasar sebelum melanjutkan ke materi selanjutnya, daripada sistem penjurusan,” jelasnya.
Memerlukan Peta Jalanan yang Dapat Dilaksanakan dengan Tepat
Memang benar bahwa Indonesia masih memiliki tugas besar untuk tidak cepat-cepat merubah kebijakan ketika terjadi pergantian menteri. Setiap kali ada modifikasi dalam kepemimpinan, sebaiknya evaluasi dan revisi dilakukan hanya jika sudah melewati analisis yang mendalam serta didukung oleh bukti-data ilmiah.
Menurut Edi, pemerintah dapat membentuk area bagi perdebatan tentang teori-teori yang berlaku saat ini dengan menghadirkan para ahli pendidikan dari berbagai universitas pendidikan, sehingga publik juga ikut serta dalam diskusi pentingnya pendidikan untuk generasi bangsa mereka.
“Setelah itu, buatlah keputusan yang tegas. Jangan membuat kebijakan hanya karena ingin berbeda dari menteri sebelumnya. Keberlanjutan prinsip kesetaraan harus dipertahankan dengan mengakui adanya beberapa masalah dalam pemerintahan lalu seperti kontroversi PMM, pembuatan Kurikulum Merdeka yang tidak transparan dan cepat, serta program Guru Penggerak yang menciptakan pemisahan-pemisahan. Namun demikian, periode Nadiem juga membawa ide-ide awal untuk Kurikulum Merdeka yang layak disyukuri,” ungkap Edi.
Sebetulnya, pemerintah sudah merancang jalur panduan untuk bidang pendidikan sampai tahun 2045. Panduan tersebut semestinya dijadikan acuan, bukannya mengeluarkan peraturan yang bertentangan dengan arahan itu tanpa ada tekanan atau dorongan yang cukup.
“Rencana tersebut memang memiliki beberapa kekurangan jika dilihat dengan cermat, tetapi mengabaikannya sepenuhnya malah bisa membuat masa depan pendidikan kita semakin kabur. Kami harus menggunakan metode pembuatan kebijakan pendidikan yang bertahap dan berkelanjutan; perubahan sebaiknya dilakukan secara bertahap bukannya mendadak, terutama karena sistem administratif di bidang ini cukup rumit, mirip dengan skala organisasi negara-negara lain seperti Finlandia atau Singapura,” ungkap Edi.
Rencana Jalur Pendidikan Indonesia 2025-2045
Yang menjadi produk dari kerjasama antara Kementerian PPN/Bappenas bersama Kemendikbudristek, Kemenag, serta mitra pengembangan lainnya seperti Departemen Urusan Luar Negeri dan Perdagangan Australia lewat Program Inovasi dan Yayasan Tanoto, telah mencakup masalah-masalah dalam bidang pendidikan di Indonesia termasuk juga arah kebijakan yang tepat mengatasinya.
Berbagai kebijakan yang dianjurkan meliputi peningkatan cepat wajib sekolah selama 13 tahun (terdiri dari satu tahun pendidikan pra-sekolah dan dua belas tahun pendidikan dasar hingga menengah), penyediaan merata akses terhadap perguruan tinggi bermutu dengan fokus pada pengembangan bidang STEM, serta perkuatan manajemen sistem dalam dunia pendidikan.
Ubaid dari JPPI setuju bersama-sama tentang rute pemetaan pendidikan yang ideal “yang benar-benar diterapkan”. Menurut dia, pihak berwenang perlu merancang peta jalannya sistem pendidikan selama 10-20 tahun dengan kesepakatan antarpelaku politik dan rezim, agar modifikasi dalam kurikulum hanya difokuskan pada penyempurnaan tanpa dimulai kembali dari awal.
“Lakukan penilaian yang didukung oleh data. Setiap peraturan baru wajib melewati tahapan uji coba terbatas serta dinilai dengan cara bebas sebelum dijalankan secara nasional. Selain itu, bukannya sering-sering merombak aturan tentang pendidikan, lebih baik bagi pemerintah untuk meningkatkan kemampuan para guru dan menyeimbangkan standar kualitas sekolah,” ungkap Ubaid.
Tanpa panduan jalurnya yang pasti, kata Ubaid, modifikasi dalam keputusan resmi bisa mengubah para pelajar menjadi subjek uji coba atau hewan percobaan, hal ini tentunya memberatkan baik siswa maupun guru. Ia pun mencermati beberapa elemen apabila sistem penentuan jurusan diperkenalkan kembali.
Pertama-tama, Kemendikbud perlu menjamin bahwa setiap jurusan memiliki akses yang sama bagi semua sekolah (termasuk di wilayah pedalaman). Mereka juga seharusnya menyelenggarakan bimbingan karier yang mendalam guna membantu para siswa dalam pemilihan jurusan sesuai dengan bakat mereka daripada hanya didorong oleh stereotipe. Selain itu, pihak berwenang harus menciptakan kurikulum yang dapat disesuaikan agar memudahkan siswa mengambil subjek-subjek dari latar belajar yang berbeda-beda.