Dua Tragedi di RS Hasan Sadikin Bandung: Pasien yang Diperkosa Dokter Resident juga kehilangan ayahnya
– Perasaan sangat sedih melanda FH (21), seorang wanita muda yang jadi korban perlakuan tidak senonoh dalam Lingkungan Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) di Bandung. Sementara masih berusaha menyelesaikan luka batin karena tuduhan penyiksaan dari dokter residen anestesi bernama Priguna Anugerah Pratama (PAP), FH pun harus merelakan ayahnya, orang yang tengah dia rawat di rumah sakit tersebut, meninggalkannya hanya 10 hari sesudah kejadian itu terjadi.
Ya, menghadapi rasa traumanya pasca peristiwa penyerangan brutal tersebut, FH terpaksa harus berdamai dengan kepergian bapaknya yang baru saja terjadi 10 hari usai insiden horor itu melanda dirinya.
Insiden menyedihkan tersebut pertama kali muncul lewat Instagram Stories milik drg. Mirza, seorang dokter yang ikut membantu menyebarluaskan kasus ini di jejaring sosial.
Pak telah wafat pada tanggal 28 kemarin di RSHS,
Suara pesan dari keluarga korban yang dikirimkan kepada drg. Mirza, pada hari Rabu (9/4/2025).
Pada kiriman yang dia posting, drg. Mirza juga mengungkapkan belasungkawa.
Semua kejadian ini adalah bagian dari takdir Allah dan kepada-Nya kami akan kembali. Mudah-mudahan almarhum ayahnya mendapatkan akhir yang baik.
tulisnya.
Modus Bertaun Medis, Korbannya Dihipnotis dan Disiksikan
Insiden memalukan yang menimpa FH terjadi tanggal 18 Maret 2025, ketika dia sedang menjaga bapaknya yang dirawat secara intensif setelah operasi di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Santo Silvester.
Dalam suasana yang dipenuhi ketidaknyamanan tersebut, FH dikunjungi oleh Priguna Anugerah Pratama, seorang dokter spesialis anestesi. Menyatakan niatnya untuk memeriksa darah, PAP mengantar FH menuju lantai 7 gedung Mother and Child Health Care (MCHC) pada waktu tepat pukul 01:00 Waktu Indonésia Bagian Barat (WIB).
(Tersangka) memindahkan korban dari ruangan IGD ke bangunan MCHC di lantai 7 sekitar pukul 01.00 WIB,
Ujar Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Pol. Hendra Rochmawan, dilansir dari kanal YouTube KOMPASTV, pada hari Rabu (9/4/2025).
Sebelum pergi dari ruang UGD, tersangka memintanya kepada FH untuk tidak diawasi oleh siapun—including saudara kandungnya. Ketika berada di ruangan bernomor 711, sang pelaku menyuruh korban menukar pakaiannya dengan jubah bedah dan melepaskan seluruh pakaian yang sedang dipakainya.
Pelaku memerintahkan korban untuk berpakaian dengan baju operasi berwarna hijau dan menuntut agar korban melepaskan bajunya serta celana yang dikenakannya.
terang Kombes Hendra.
Selanjutnya, PAP menancapkan jarum di tangan kirinya sebanyak 15 kali pada FH, kemudian menghubungkannya dengan selang infus. Dia memasukkan cairan jernih yang dicurigai sebagai bius atau zat penenang, sehingga membuat korban hilang kesadarannya.
Pihak korban mengalami kepala berputar dan kemudian jatuh pingsan,
lanjutnya.
Korbannya Baru Kesadaran Usai Mengalami Nyeri di Area Sensitif
Pada sekitar pukul 04.00 WIB, FH bangun dan mengetahui bahwa dirinya telah kembali di IGD. Pada waktu tersebut, dia mencatat sesuatu yang aneh pada tubuhnya, terkhusus sensasi sakit dan panas di daerah sensitif ketika berkemih.
Korbannya setelah itu mengungkapkan pengalamannya pada sang bunda. Sekeluarga lantas melaporkan hal tersebut kepada pihak berwajib. Dokumen formal disiapkan untuk Direktorat Polisi Daerah Jawa Barat, dan proses investigasi gotong royong dijalankan.
Pelaku diketahui telah mencoba mengambil darah sebanyak 15 kali dan menyuntikkan larutan jernih ke dalam kateter yang membuat korbannya pingsan,
jelas Kombes Hendra.
Pemeriksaan Melibatkan 11 Saksi, Pelaku Ancam Dihukum 12 Tahun Rutan
Selama investigasi, penyidik dari Polda Jawa Barat sudah menginterogasi minimal 11 orang saksi yang meliputi FH, sang ibu serta saudara kandung korban, tiga tenaga perawat, seorang pekerja di bagian farmasi, dokter, sampai dengan apoteker di rumah sakit tersebut.
Dirktorat Kriminal Umum juga akan mengajukan permohonan kepada pakar untuk membantu dalam tahap penyelidikan,
tambah Hendra.
Setelah mengkoleksi sejumlah bukti yang cukup, Priguna Anugerah Pratama secara resmi dinyatakan menjadi tersangka dan saat ini dikurung selama 20 hari kedepan. Dia terancam pasal 6C dari UU No. 12 Tahun 2022 tentang Pelaku Kejahatan Kekerasan Seksual.
Hukuman maksimal yang dapat dikenakan atas ancaman tersebut adalah penjara selama 12 tahun,
tegas Hendra.
Trauma Berlipat: Pelecehan Seksual dan Kehilangan orang tua
Casus ini merupakan cermin pedih terkait ketidakmampuan rumah sakit melindungi para pasiennya, tempat yang mestinya menjadi zona aman tertinggi. FH saat ini harus menanggung luka bertumpuk—notabene bukan cuma selamat dari serangan seksual, tetapi juga merelakan sang bapak pergi pada momen stres ekstrem.
Instansi yang mendampingi korban serta para psikolog forensik juga mulai mendorong pentingnya rehabilitasi traumatis jangka panjang bagi FH. Psikolog klinis Rini Andriani, S.Psi., menyebutkan bahwa dampak dari trauma ganda semacam itu dapat memunculkan pengaruh-pengaruh yang bertahan lama.
“Korban dalam posisi terjepit secara emosional dan psikologis. Ia bukan hanya menyimpan trauma seksual, tetapi juga menghadapi kesedihan mendalam akibat kehilangan orang tua. Ini harus ditangani dengan pendekatan terapi yang menyeluruh,” ujarnya saat dimintai pendapat.
Dorongan Publik untuk Evaluasi Sistem Pengawasan Rumah Sakit
Setelah kasus ini mencuat ke publik, berbagai desakan muncul agar pihak RSHS melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem keamanan dan pengawasan di internal rumah sakit. Banyak pihak mengecam betapa mudahnya pelaku membawa korban ke ruangan tertutup tanpa pendamping dan melakukan tindakan kriminal dengan leluasa.
Organisasi advokasi kesehatan dan perlindungan perempuan pun menyerukan pembentukan satuan tugas (satgas) pengamanan pasien di setiap rumah sakit besar.
Asa Untuk Keadilan dan Pemulihan
Masyarakat menginginkan agar kasus ini tidak sebatas sampai pada tindakan hukum terhadap para pelaku saja, namun juga harus memicu pembenahan secara menyeluruh yang mencakup rumah sakit, lembaga pendidikan kedokteran, serta pihak kepolisian dan penegak hukum lainnya.
Untuk FH, pertarungan jangka panjang masih akan berlangsung. Akan tetapi, dengan dukungan dari keluarga, lingkungan sekitar, serta sistem peradilan yang adil, diharapkan dia dapat pulih dari penderitaan yang menimpa hidupnya.
(Tribun Trends/ Tribunnews.com/ Siti N/ Endra/ diproses dengan bantuan AI)